Pembinaan yang Tepat Bagi Napi; Pembimbing Kemasyarakatan Lakukan Assesment Oleh : A Haryo Budiawan SE MH

SAMIN-NEWS.com, ASSESMENT dan klasifikasi merupakan dua hal yang saling berkaitan, tapi memiliki proses berbeda dalam pelaksanaan tugas pemasyarakatan manajemen kepenjaraan. Klasifikasi dalam konteks manjemen kepenjaraan mengacu pada prosedur penempatan narapidana sesuai level/kelas lembaga pemasyarakatan.

Berkait dengan level tersebut, tentu ada suport maksimum, medium dan minimum, untuk menyesuaikan kebutuhan narapidana dengan kondisi dan sumber dana yang terdapat pada lembaga pemasyarakatan (penjara). Hal tersebut berkaitan dengan kebutuhan sarana dan prasara, serta tingkat pengawasan yang dibutuhkan oleh narapidana selama menjalani masa pidananya di Lapas.

Sistem klasifikasi dimaksudkan untuk membedakan narapidana yang menunjukkan risiko keamanan, dan atau membutuhkan penanganan tertentu (Austin, 2003; Schmalleger & Smykla, 2001)

Sedangkan asesment secara umum dalam konteks manajemen kepenjaraan, merupakan serangkaian proses yang sangat erat berkaitan dengan klasifikasi. Instrumen-instrumen yang dipergunakan untuk asesment dalam sistem pemasyarakatan biasanya didesain untuk menilai/mengidentifikasi dua area, yaitu risiko dan kebutuhan WBP.

Dalam hal tersebut, risiko adalah mengacu pada risiko yang mungkin ditimbulkan oleh WBP terhadap diri sendiri, orang lain dan masyarakat, baik secara keamanan, keselamatan, kepatuhan terhadap aturan di dalam Lapas. Sehingga kemungkinan  mengendalikan jaringan kriminal dari dalam Lapas, ataupun kemungkinan menimbulkan keresahan dalam masyarakat, serta risiko pengulangan  tindak pidana.

Faktor-faktor yang dinilai relevan untuk dinilai dalam asesment risiko, adalah isu-isu yang berkaitan dengan sejarah kriminal, sikap/pandangan narapidana tentang tindak pidana dan kekerasan. Selain itu juga tingkat bahaya, atau akibat yang ditimbulkan dari tindakan pidana yang dilakukan, contohnya adalah tindak pidana kekerasan dan kejahatan seksual.

Hal tersebut dianggap sebagai tindak pidana yang lebih berbahaya dibandingkan dengan tindak pidana nonkekerasan, dan nonkejahatan seksual. Sedangkan asesment kebutuhan narapidana mengukur/menilai hal-hal terkait pendidikan, pekerjaan, kondisi finansial/keuangan, relasi interpersonal, kondisi pernikahan/keluarga, dan lingkungan.

Adapun lingkungan yang dimaksud tak lain lingkungan tempat tinggal, dan  selebihnya juga ada pemanfaatan waktu luang dan rekreasi, serta teman antisosial. Sejarah penggunaan dan pemakaian narkotika dan alkohol, kesehatan mental, sikap terhadap tindak pidana, pandangan terhadap putusan pidananya dan sistem peradilan yang dijalani (Andrews & Bonta, 2003).

Asesment pun bersosial erat dengan klasifikasi, di mana skor/nilai hasil asesment sering disajikan sebagai  dasar pengambilan keputusan awal penentuan klasifikasi maupun pengklarifikasian ulang narapidana. Hal tersebut baik untuk penempatan maupun penentuan intensitas program intervensi/pembinaan yang akan diberikan salama menjalani masa pidananya.

Selain itu, dalam pelaksanaan pembimbingan, skor/nilai asesment juga dipergunakan sebagai dasar penentuan tingkat pengawasan yang diberikan kepada klien. Menilai risiko, kebutuhan dan responsivitas (yaitu kemampuan, gaya, pembelajaran dan kesiapan narapida) untuk mengikuti program intervensi, baik dalam masa pembinaan atau pun pembimbingan.

Sebab, masalahnya hal itu memungkinkan para petugas pemasyarakatan untuk mempergunakan sumber daya yang dimiliki secara lebih efisien. Masalah tersebut terutama dalam hal pemberian/penentuan tingkat pengawasan yang diberikan kepada narapidana/klien.

Sementara itu proses pelaksanaan asesment dilakukan terhadap narapidana sejak awal untuk menentukan klasifikasi tingkat risiko WBP. Yakni, terutama risiko di bidang keamanan sebagai dasar penempatan di Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan klasifikasi yang ada pada masing-masing negara, dan dilakukan kembali secara berkala sesuai dengan kebutuhan hasil asesment risikonya, apakah di lembaga pemsyarakatan dengan klasifikasi surve maksimum sekurity, medium sekurity atau minum sekurity.

Sistem klasifikasi eksternal secara spesifik dilaksanakan dengan menggunakan form penilaian (asesment) risiko di bidang keamanan, keselamatan, stabilitas dan kemasyarakatan. Untuk hal itu dalam prosesnya adalah menilai seluruh data dan informasi tentang tindak pidana yang dilakukan oleh WBP, sejarah dan catatan kriminal yang pernah dilakukan oleh WBP sebelumnya.

Selebihnya juga latar belakang WBP (usia, penyakit yang diderita, gangguan jiwa atau gangguan-gangguan lainnya) serta beberapa informasi. Di antaranya, yaitu riwayat penggunaan narkoba dan alkohol, riwayat pelanggaran yang dilakukan WBP selama menjalani proses peradilan pidananya, lama pidana, tingkat keseriusan tindak pidana, dan sisa masa pidana.

Kendati berdasarkan hasil penelitian tidak terlalu siginifikan dalam memprediksi tingkat risiko WBP, tapi faktor tersebut juga menjadi pertimbangan utama. Hal tersebut, adalah untuk penentikan klasifikasi eksternal, dan juga untuk penempatan awal WBP (Andrews & Bonta, 2003 Austin, 2003)

Untuk proses klasifikasi WBP akan dilaksanakan kembali setelah mereka ditempatkan di lembaga pemasyarakatan, untuk menentukan penempatan blok hunian dan intensitas program intervensi /pembinaan dalam upaya menyesuaikan tingkat pengamanan dan perlakuan tertentu dengan program pembinaan yang akan diberikan.

Proses klasifikasi yang dilakukan pada fase ini disebut sebagai klasifikasi internal (internal classsification) . Proses klasifikasi internal biasa dilakukan dengan menggunakan instrumen risiko yang berkaitan dengan resiko-resiko di bidang keamanan, keselamatan, stabilitas, kemasyarakatan, pengulangan tindak pidana dan kebutuhan kriminogenik.

Setelah menjalani masa pembinaan, dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kebijakan yang ditentukan, maka secara periodik WBP akan menjalani proses klasifikasi ulang (re-classification) untuk meninjau kembali perubahan – perubahan yang mungkin terjadi selama proses pembinaan yang dapat mempengaruhi dan mengubah klasifikasi WBP sebelumnya. Klasifikasi ulang lebih menekankan pada perilaku narapidana selama menjalani masa pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan.

Masalah itu tak ubahnya seperti tingkat partisipasi WBP dalam program pembinaan, keterlibatan dalam kelompok (gang) di dalam Lapas. Selain itu juga riwayat keterlibatan dalam kekerasan dan catatan hukuman disiplin yang dilakukan (Austin, 2003) dengan menggunakan instrumen asesment risiko yang sudah dipergunakan sebelumnya, serta beberapa catatan hasil evaluasi pelaksanaan program intervensi/pembinaan yang sudah dilaksanakan oleh WBP.

Karena itu, proses dalam pembimbingan WBP pun dilaksanakan terhadap WBP untuk mengidentifikasi dan memilih strategi pengawasan. Contohnya, adalah tingkat  pengawasan /wajib lapor/homevisit yang dilakukan berdasarkan pada hasil asesment risiko dan kebutuhan WBP.

(A Haryo Budiawan, Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kelas II Pati)

About Post Author

Alm. Alman Eko Darmo

Pemimpin Redaksi Samin News
Previous post Yenny Wahid Nilai Guyonan Gus Dur Adalah Kekuatan Besar yang Dimiliki Ayahnya
Next post Polres Pati Tangani Ratusan Kasus Sepanjang tahun 2021 termasuk di Antaranya Penipuan CPNS
Social profiles