Terasi Bumbu Dapur yang Tak Lekang Oleh Zaman

Warga pembuat bumbu dapur dari bahan alami yang diberi nama terasi tengah menjemurnya di bawah terik matahari.

SAMIN-NEWS.com, PATI – Nenek moyang kita suku bangsa Jawa (umumnya) sejak dulu memang banyak belajar dari alam sekitar, sehingga dalam meracik ramuan bumbu untuk masakan khas Jawa pun berlaku cukup bijak. Sehingga bumbu bumbu dapur yang tak lekang oleh zaman, sampai saat ini tak pernah meninggalkan yang namanya terasi atau belacan.

Dengan demikian, terasi tetap menjadi bumbu penyedap yang tiada duanya di dunia, meskipun dari sisi bentuk dan warnanya sama sekali tidak menarik, Bahkan baunya pun menyengat tidak sedap, tapi justru banyak dicari karena jika memasak bumbunya yang satu ini lupa disertakan, maka masakannya dirasakan cemplang.

Untuk mendapatkan bumbu jenis yang satu ini, pembuatnya rata-rata adalah warga yang berdiam di daerah pesisir, seperti Juwana, Tayu, dan Batangan. Di Juwana pembuat terasi jika tidak di Bakaran Kulon adalah Langgenharjo, dan kalau di Batangan pembuatnya ada di Desa Raci karena lebih dekat dalam upaya mendapatkan bahan baku.

Rebon dari udang lembut yang sudah dihaluskan kemudian dijemur dalam bentuk lempengan bulat sampai kering, kemudian ditumbuk dan dihaluskan lagi sampai menjadi terasi.

Di Langgenharjo, misalnya, satu pembuat terasi, adalah Wiji (68) bersama istrinya, di mana pekerjaan itu sudah ditekuni lebih dari sepuluh tahun lalu. Akan tetapi, untuk membuat terasi tidak bisa dilakukan tiap hari, karena pencari bahan bakunya berupa rebon tersebut belum tentu tiap hari bisa mendapatkannya saat mencarinya di pinggiran laut yang sekarang ini sudah banyak menjadi tempat menepinya sampah yang terbawa ombak.

Dengan demikian, rebon akan banyak di dapat dari tepi pantai yang terdapat tumbuhan bakau sehingga bahan baku jika sudah terkumpul barulah diproses menjadi terasi. Yakni, dihaluskan kemudian dijemur dalam bentuk lempengan bulat, dan bila sudah kering ditumbuk lagi sampai halus dan dibentuk menyesuaikan berat, yaitu berbentuk bulatan dengan berat rata-rata 1 kilogram.

Menjawab pertayaan, bagaimana menyikapi pembuat terasi yang ternyata diperbanyak dengan campuran seperti dari gaplek dan juga umbi-umbian lainnya, serta diberi pewarna. Atas pertanyaan itu, untuk menyikapinya dilakukan sesuai kepentingan masing-masing karena sekarang semua orang sudah bisa membedakan, mana terasi asli dengan bahan rebon maupun yang menggunakan campuran.

Apalagi, jika terasi buatannya itu dibawa ke Pasar Selok, yaitu pasar di pinggur jalan Juwana-Wedarijaksa, maka pembelinya sudah hafal. ”Kemi menjual terasi buatan sendiri murni dari bahan rebon laut ini per kilogram Rp 160.000,” ujarnya.

About Post Author

Alm. Alman Eko Darmo

Pemimpin Redaksi Samin News
Previous post Perbaikan Jembatan Kembar Akan Dimulai Pekan Depan
Next post Data Bansos BPNT di Pati Dialihkan ke Bank BRI
Social profiles