Slilit Sejarah Pati

Seorang warga asal Semarang meluangkan waktu khusus untuk membuktikan adanya makam Ki Ageng Kemiri, di Dukuh Kemiri, Desa Sarirejo, Kecamatan Kota Pati.(Foto:SN/aed)


SAMIN-NEWS.COM  SLILIT tentang Sejarah Pati, selamanya tidak akan terurai ketika hal tersebut hanya jadi bahan perbincangan di warung kopi maupun diskusi pihak-pihak maupun kelompok yang mengklaim sebagai orang yang mempunyai kepedulian. Sedangkan di sisi lain, sampai sekarang belum ada upaya bersama untuk mengurai permasalahan tersebut, sehingga yang terjadi adalah munculnya penyikapan antara yang merasa peduli dan yang abai atau masa bodoh terhadap slilit ini.
Contoh permasalahan kecil, seperti Sejarah Kabupaten Pati yang ditetapkan 7 Agustus sejak Tahun 1323, hal tersebut sampai sekarang masih diragukan benar maupun salahnya. Padahal persoalan salah benar atau salah dalam sebuah sejarah yang dituliskan maupun dituturkan pasti tak bisa dihindari, tapi minimal semua pihak ada kemauan untuk membaca dan mendengarkan kembali secara bersama-sama hal tersebut.
Dengan demikian untuk mewujudkan harapan tersebut, agar sejarah Pati menjadi hitam-putih maka semua pihak harus ada kemauan dan keinginan bersama melepas slilit yang masih terasa mengganjal di sela-sela gigi kita. Karena itu harus ada komitmen bersama untuk mencari penusuk yang bisa melepas slilit tersebut.
Jika slitit dimaksud pada awalnya bersumber dari langkah Tim Peneliti Sejarah Hari Jadi Kabupaten Pati itu dalam menetapkan tanggal Hari Jadi, mengacu pada Prasasti Tuhanaru yang ditulis pada lempengan perunggu pada zaman Kerajaan Majapahit di bawah kekuasaan Raja Jaya Negara (1323), dan prasasti tersebut masih tersimpan di Museum Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
Solusinya, ya mari bersama-sama kembali ke menelusur ke museum tersebut untuk minta dibacakan kembali tulisan yang tertera pada prasasti sebanyak delapan lempengan itu. Dengan demikian, kita bisa mndengarkan dan mencatatnya dalam bentuk transkip yang bisa menjadi catatan sejarah tentang hadirnya dua orang pangeran yang disebut-sebut dalam Sejarah Kabupaten Pati pernah hadir di pisowanan agung Kerajaan Majapahit.
Satu di antara pangeran asal Kadipaten Pesantenan pada masa pemerintahan Adipati Tombronegoro itu, adalah Pati-pati Pukapat. Jika benar pangeran dimaksud berasal dari Pesentanan yang sekarang bernama Pati, maka apa yang menjadi dasar acuan Tim Peneliti Sejarah Kabupaten Pati dengan menetapkan Hari Jadi 7 Agustus Tahun 1323, tentu tiudak terbantahkan.
Dalam penyikapan kebenaran sejarah tersebut, maka siapa pun tak punya hak lagi untuk menyoal mau mengusik tentang kebenaran isi prasasti tersebut. Sebab, hal itu hanya membuang-buang enerji, waktu dan biaya  yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menelisik dan menelusur sejarah yang lain dengan mengambil kembali titik pusat di Kemiri dengan mengacu pada situs Genuk Kemiri.
Pertanyaannya yang timbul, bagaimana transportasi dan akomodasi untuk menuju ke museum Trowulan, ya prinsipnya holopis kuntul baris-gotong royong nyambutgae. Alias ayo bareng-bareng iuran, sehingga siao yang merasa peduli untuk ikut ya tetap harus dengan opor bebek, y akni mentas samentas ka awak dhewek, itu namanya baru bentuk sebuah tanggung jawab terhadap kesejarahan di Pati.
Sebaliknya, jika binyi prasasti Tuhanaru, ternyata tidak sama dengan apa yang disimpulkan oleh Tim Sejarah Hari Jadi Kabupaten Pati, maka kebijakan yang mengambil 7 Agustus sebagai Hari Jadi Pati yang diperingati setiap tahun, hendaknya juga nglenggana uniulangtuk mrenyadari dan mengakui bahwa tanggal dan tahun yang ditetapkan sebagai hari jadi itu salah.
Konsekuensinya, pembenahan dan penetapannya harus diulang tanpa harus merasa dilecehkan ketimbang tiap tahun dalam memperingati hari jadi tersebut sama saja dengan melakukan pengibulan massal. Sehingga berangkat dari kesadaran tersebut, maka slilit tentang kesejarahan di Pati tidak kembali terulang.
Sebab, masih banyak hal tentang kesejarahan di Pati yang harus mulai ditelisik kembali agar anak-cucu kita tidak kehilangan jejak tentang asal-usul daerahnya. Hal ersebut mengingat pada masa-masa peradaban manusia, pasti meninggalkan nilai-nilai antara kebaikan dan keburukan yang tidak bisa ditolak pada perdaban berikutnya.
Apalagi, pusat kesejarahan di Pati pun cukup banyak, mulai dari Kemiri yang akhir-khir ini juga diketahui adanya seorang tokoh pada masanya sekitar abad 15, yaitu Ki Ageng Kemiri. Di Desa Metaraman, Kecamatan Margorejo juga terdapat makam kuna yang dise but-sebut, Sunan Patiu yang diperkirakan nama lain dari Ki Ageng Ngerang III, ayah Ki Ageng Penjawi, dan Nyi Ageng Kemiri.
Di sisi utara desa tersebut, yaitu di Dukuh Muktisari, Desa Muktiharjo, kecamatan setempat terdapat makam tokoh lain, yaitu Adipati Mangoen Oeneng. Selebihnya ada pula makam Adipati Pamegatsari, belum tokoh lain yaitu para ki Gede seperti Palngitan, Soko, Jambean, Kaliampo, Ngepung, Siman, dan masih banyak tokoh lainnya yang mempunyai andil dan mewarnai peradaban Pati pada masanya.
Mengapa, banyak di antara kita yang enggan untuk peduli. Ya, wajar karena menelusur sejarah, selain terlalu sulit juga tidak menjanjikan apa-apa pada sisi kepentingan material, tapi justru membuang-buang waktu, tenaga, dan biaya. Apakah memang benar demikian?(Ki Samin) 


About Post Author

Redaksi Samin News

Seputar Informasi Masyarakat Independen
Previous post Nasib Honorer K2 Semakin Tidak Jelas
Next post Selesai Diskusi Gotap DLH dan Bagian Humas Langsung Berpartisipasi
Social profiles