Menelisik Sejarah Hari Jadi Pati (4); Mematok Angka Tahun Sudah Diperhitungkan Tim Penyusun (bersambung)

Situs yang masih ada di Kemiri, Desa Sarirejo, Kecamatan Pati, sampai saat ini dikenal sebagai situs Genuk Kemiri.

BICARA tentang sesuatu yang kita sendiri tak pernah melihat atau mengalami secara langsung, adalah sama saja memperkirakan. Hal tersebut beda jauh dengan apa yang pernah dilakukan oleh Tim Penyusun Sejarah Hari Jadi Pati, meskipun personel yang bersangkutan sebagian besar sudah tidak ada, maka  soal angka tahun tentang sejarah tersebut sudah dipatok sejak awal, dan akhirnya menjadi angka tahun yang ditetapkan dan disepakati pertama.

Maksudnya, angka-angka tahun sebagai patokan menyusun sejarah Hari Jadi tersebut sandaran dan pembenarannya, tim sengaja mengambil awalan di angka Tahun 1292 yang disebutkan bahwa di tahun tersebut di kawasan pesisir utara. Tepatnya, di sisi timur Selat Muria sudah ada pusat pemerintahan dua kadipaten, yaitu Kadipaten Paranggarudo di sisi selatan Bengawan Silugonggo dan Kadipaten Carangsoko, di utaranya.

Jika kita merunut angkat tahun menjelang berakhirnya abad Ke-13 tersebut, atau di Tahun 1293 Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit yang bergelar Sri Rajasa Jayawardhana, setelah runtuhnya Kerajaan Singosari yang sempat diperintah oleh Jayakatwang. Di sinilah Tim Penyusun Hari Jadi yang mengacu pada cerita tutur dan cerita Babad Pati sadar, bahwa di seputaran angka tahun tersebut terjadilah ”brubuh” di kedua kadipaten itu yang semula disebutkan, bahwa rakyatnya hidup rukun dan saling berdampingan.

Karena itu, diikutilah perpindahan kekuasaan dari Adipati Cararangsoko, Puspoadumjoyo kepada menantunya, Kembang Joyo yang berhasil membuka hutan Kemiri da mejadikannya sebagai pusat pemerintahan, Kadipaten Pati Pesantenan. Nama kadipaten tersebut jika megacu pada ceria tutur, bahwa saat membuka Alas Kemiri dalam kondisi pada kehausan datanglah seorang penolong, seorang penjual minuman dawet, Ki Cekong.

Situs Genuk Kemiri di Desa Sarirejo, Kecamatan Pati dan juru kuncinya, Pak Man.

Dengan demikian, nama Pati Pesantenan itu dalam cerita tutur berasal dari bahan pembuat minuman dawet, untuk ”cendhol” pelengkapnya dibuat dari bahan pati yang dipadu denga air santan (Jawa-santen) kelapa. Atas dasar kedua bahan untuk minuman dawet itulah, maka kadipaen yang suda berdiri di Kemiri, amanya menjadi Pati Pesantenan yng sampai saat ini nama tersebut tetap melekat di hati masyarakat.

Barangkali ini harus kembali lagi, di mana dalam menyikapi sesuatu yang tidak kita ketahui sendiri atau secara langsung, adalah sama saja saja dengan memperkirakan. Demikian pula, ketika suda memerintah sebagai Raja Kerajaan Majapahit, putra pertama Raden Wijaya dengan Dara Petak (Kitab Pararaton) pun lahir laki-laki yang diberi nama Raden Kalagemet atau Raden Jayanegara (1294), dan memerintah Tahun 1309 s/d 1328.

Bersamaan itu pula, rumusan mematok angka tahun oleh Tim Penyusun Sejarah Hari Jadi Pati,  Adipati Kembang Joyo dari hasil Perkawinannya dengan Dewi Rayungwulan, lahirlah Tambra atau Raden Tambranegara. Sehingga dari unsur kesamaan dan kesepakatan di antara tim penyusun tersebut, saat putra pertama Kerajaan Majapahit menjadi raja menggantikan ayahnya, hal sama juga terjadi di Bumi Pati Pesantenan.

Apalagi, jika tidak Raden Tambra juga naik tahta menjadi Adipati Pati Pesantenan, menggantikan ayahnya Adipati Kembang Joyo. Hanya perbedaannya nanti, jika Raden Jayanegara tidak pernah memindahkan Kerajaan Majapahit, tapi Raden Tambranegara setelah menjadi Adipati harus memindahkan pusat pemerintahannya. (bersambung)

 

About Post Author

Alm. Alman Eko Darmo

Pemimpin Redaksi Samin News
Previous post E-Koran Samin News Edisi 2 Agustus 2021
Next post Kemarin Tim BPBD Lebih dari Cukup Memakamkan Tiga Jenazah Standar Protokol Covid-19
Social profiles