Bau Amis Kartu Prakerja yang Terlalu Pekat

BELUM lama ini pemerintah memutuskan untuk menghentikan paket pelatihan Kartu Prakerja. Namun hal tersebut tentu tidak bisa begitu saja menyelesaikan masalah. Pemerintah seharusnya membuat koreksi secara menyeluruh dari hulu ke hilir guna menyelesaikan pemborosan anggaran dan penyalahgunaan anggaran dari negara yang bernilai fantastis.

Dalam keputusannya, Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja akhirnya menyetop seluruh transaksi dan penjualan paket pelatihan online yang disediakan delapan lembaga mitra platform digital dengan alasan tidak adanya mekanisme yang menjamin peserta program akan menuntaskan materi pelatihan. Peserta bisa menerima sertifikat dan uang insentif meski belum menuntaskan paket pelatihan yang mereka pilih secara gelondongan.

Keputusan penghentian tersebut hanyalah menambal kebocoran di bagian hilir saja. Padahal program yang telah menjadi janji kampanye Jokowi – Ma’ruf Amin tersebut telah bocor dari hulu sejak awal.

Semula, sasaran program Kartu Prakerja adalah warga negara berusia minimal 18 tahun yang tengah mencari kerja, pekerja sektor informal, serta pelaku usaha mikro dan kecil. Belakangan, pemerintah membelokkan program ini untuk menangani pengangguran baru akibat wabah pandemi Covid-19. Namun pemerintah tidak mengubahnya menjadi bantuan langsung tunai. Peserta program baru mendapat insentif setelah menjalani sejumlah pelatihan daring.

Begitu dibelokkan, program Kartu Prakerja langsung berpotensi salah sasaran. Korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) umumnya telah memiliki keterampilan khusus, jadi yang mereka butuhkan jelas bukan pelatihan melainkan bantuan tunai sebagai pengganti sumber pendapatan.

Program dengan anggaran 20 triliun tersebut juga jelas melenceng dari aturan yang telah diregulasi oleh pemerintah ketika menggandeng delapan mitra digital. Penyedia platform digital itu ditunjuk tanpa lelang, sehingga melanggar prinsip persaingan sehat, transparansi, keadilan, serta akuntabilitas pengadaan barang dan jasa pemerintah. Padahal uang negara yang dialokasikan untuk delapan mitra itu tidaklah kecil, sekitar Rp 5,6 triliun.

Selain itu, pemerintah juga keliru memaksakan program berbasis teknologi tersebut tanpa basis data yang jelas terkait kondisi demografi serta kebutuhan peserta. Manajemen pelaksana Kartu Prakerja, misalnya, memverifikasi calon peserta dengan teknologi pengenal wajah, bukan dengan mengandalkan data induk kependudukan. Lagi-lagi, potensi pemborosan terbuka lebar.

Dalam hal ini, tentu bau amis program tersebut terlalu pekat untuk dilupakan dan tersapu bersama angin. Pemerintah sudah seharusnya mengusut tuntas semua apa yang terjadi dengan program tersebut..

About Post Author

Redaksi Samin News

Seputar Informasi Masyarakat Independen
Previous post Hasil Rapid Test untuk Kontak Dekat dengan Positif Covid-19, Lima Reaktif
Next post Tim BBWS Pemali – Juwana Survei Awal Alternatif Pembangunan Bendung Cabean
Social profiles