Romantisme Masa Lalu Indonesia dan Timor Leste

BEBERAPA waktu terakhir, saya rasa pemberitaan mengenai Timor Leste terasa cukup ramai diberbagai portal pemberitaan. Mulai dari pemberitaan tentang seorang milisi pro Indonesia, hingga pemberitaan tentang pembangunan jembatan dengan nama BJ Habibie pun cukup ramai di media sosial.

Namun, jika kita membicarakan tentang Timor Leste, tak afdhol rasanya jika kita tidak menilik balik sejarah panjang Timor Leste dengan negeri kita Indonesia.

Timor Leste atau yang dulu dikenal dengan sebutan Timor Timur, dahulu sempat dijuluki sebagai “Anak yang Hilang” oleh Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto. Penyebutan tersebut bukanlah tanpa alasan, pasalnya Timor Timur itu dulunya diduduki oleh Portugis, ketika seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh Belanda. Keunikan itu, membuat Indonesia merasa Timor Timur adalah bagian dari wilayahnya.

Nama Timor Timur sementara berubah menjadi Timor Portugis pada 28 Nopember 1975 setelah Front Revolusi Kemerdekaan Timor Timur (Fretilin) menyatakan kemerdekaan mereka dari Portugis yang telah menjajah mereka sejak abad ke 16.

Beberapa hari setelah pernyataan itu, Indonesia ingin mendapatkan kembali “Anak Yang Hilang”. Dengan maksud aneksasi, militer Indonesia diterjunkan ke wilayah yang disebut juga dengan Bumi Lorosae itu.

Kendati masih belum kondusif karena lantas terjadi bentrokan antara Fretilin dengan militer Indonesia, akan tetapi sebagai bagian dari Indonesia, Timor Timur pun lantas dianggap sebagai anak sendiri oleh Bapak Pembangunan Nasional, Soeharto.

Bahkan saat itu, bisa dikatakan bahwa Si Anak yang Hilang tersebut cukup dimanjakan oleh Soeharto melalui berbagai infrastruktur dan bidang yang lainnya.

Melalui UU No 7 Tahun 1976 Bumi Lorosae dinyatakan sebagai provinsi Indonesia yang ke 27. APBN untuk Timor Timur juga dinaikkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Timor Timur.

Bahkan jika kita mau beranjak ke Timor Leste pada masa sekarang, warisan Soeharto masih cukup banyak tersisa. Seperti Bandara Komoro, yang kini namanya dirubah menjadi Bandara Nicolau Lobato di Dili, ibukota Timor Timur.

Tak hanya itu, warisan Soeharto lainnya dibangunnya Patung Kristus Raja atau Patung Cristo Rei. Dalam Bahasa Portugis, Cristo adalah Kristus, sedangkan Rei adalah Raja.

Patung setinggi 27 meter ini memiliki anak tangga sebanyak 590 buah untuk mencapai puncaknya. Patung yang dibuat tahun 1996 ini dibuat di Bandung dengan menelan biaya pada saat itu Rp 5 miliar.

Ini adalah patung kedua tertinggi di dunia setelah Patung Christ The Redemeer di Rio de Janeiro, Brasil, setinggi 36 meter, berdiri di atas bukit setinggi 1,5 km.

Patung Cristo Rei tersebut bisa dikatakan sebagai penanda kecintaan Soharto pada Timor Leste kala itu, kendati mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam ia tak lantas menutup mata untuk memberi kebahagian masyarakat Timor Leste dengan bangunan tersebut.

Yahh, meskipun Timor Leste sudah bukan Indonesia ya mau bagaimana lagi? Namanya juga politik, pergolakan akan selalu ada. Mau bilang cinta ? Tentu tidak ada artinya, cinta juga dinamis, namun politik lebih dari sekedar kata dinamis yang biasa.

About Post Author

Redaksi Samin News

Seputar Informasi Masyarakat Independen
Previous post Penyambungan Pipa untuk Persiapan Penyaluran Penyediaan Air Minum
Next post Peduli Sosial, Komunitas Al-Khidmah Serahkan Bantuan
Social profiles