Perseteruan Dua Kadipaten Sebagai Titik Awal Munculnya Kadipaten Pesantenan

Kompleks makam Adipati Pati Raden Tambranegara di Kampung Kaborongan, Kelurahan Pati Lor, Kecamatan Kota Pati.(Foto:SN/aed).


SAMIN-NEWS.COM  PATI-Masih seputar latar belakang berdirinya Kabupaten Pati yang oleh Tim Penyusun mengacu pada cerita Babad Pati yang dipadukan dengan Pisowanan Agung di Majapahit (Prasasti Tuhanaru). Untuk versi cerita babad disebutkan, bahwa menjelang akhir Abad XIII atau sekitar Tahun 1290 di Tanah Jawa tidak ada lagi penguasa kerajaan yang berwibawa.
Apalagi, Kerajaan Pejajaran pun mulai runtuh, Kerajaan Singasari mulai surut, dan Kerajaan Majapahit belum berdiri. Sehingga di pantai utara Pulau Jawa atau di sekitar kawasan timur Gunung Muria muncul penguasa dengan dua wilayah kadipaten berbeda dengan batas wilayah alur Kali Juwana atau nama lainnya dikenal dengan sebutan Bengawan Silugonggo.
Sebagaimana cerita babad, bahwa dua wilayah kekuasaan selalu ditulis dan digambarkan pemimpimpinnya yang bijak berwibawa, dan sangat mencintai rakyatnya. Sedangkan penggambaran situasi wilayah kekuasaan pun disebutkan berdampingan dan damai se[erti kekuasaan Kadipaten Paranggaruda (selatan Kali Juwana) dengan Kadipaten Carangsoko (utara Kali Juwana).
Untuk Kadipaten Paranggaruda dipimpin seorang Adipati, Yudhapati dengan Senopati bernama Yuyu Rumpung, seorang Penewu (Wedana) Kemaguan. Adipati tersebut berputra satu yang digambarkan sebagai sosok yang mempunyai cacat fisik serta lambat dalam berpikir, dan diberi nama Menak Josari.
Sementara itu Kadipaten di wilayah utara Kali Juwana bernama Carangsoko dengan Adipatinya Puspo Handumjoyo yang mempunyai seorang putri cantik jelita, Rara Rayungwulan seeta dengan Senopati andalannya, Sukmoyono dipercaya sebagai Penewu Majasemi. Wedana inilah yang disebut-sebut mempunyai pusaka sebagai piandel berupa keris diberi nama Keris Rambut Pinutung dan Kuluk Kanigara.
Selain itu masih ada dua pusaka lainnya, yaitu Kroncong (Krincing) Gumbalageni dan Sabuk Taliwangke. Bagi pemegang pusaka piandel itulah yang dipastikan bisa menurunkan penguasa di Tanah Jawa, dan sampai akhirnya kedua kadipaten ini harus berseteru yang harus diakhiri dengan perang.
Faktor penyebab terjadinya perseturuan tersebut tak lain, karena putra Adipati Paranggaruda berkeinginan menyunting putri Adipati Carangsoko. Karena dengan kondisi fisik yang cacat dan banyak kekurangan sebagai sosok seorang laki-laki, maka Menak Josari dikenai persyaratan saat hari pernikahannya nanti oleh Rara Rayungwulan minta diselenggarakan pertunjukan wayang kulit.
Untuk dalangnya pun tidak hanya asal dalang ecek-ecek, dan hal tersebut menjadi kebiasaan hingga sekarang, di mana setiap pemerintah ini mempunyai hajat dengan menggelar pertunjukan wayang kulit, maka dalang yang dihadirkan pun harus dalang kondang yang bertarif mahal. Hal itu sudah menjadi bagian persyaratan tak tertulis, sebagaimana  tuntutan Rara Rayungwulan.
Pada saat pahargian pernikahannya dengan Menak Josari, maka pertunjukan wayang kulit harus oleh dalang kondang, yaitu Soponyono yang konon wayangnya bisa berjalan sendiri. Karena itu, Adipati Yudhapati memerintahkan Wedana Yuyu Rumpung untuk menghadirkan dalang tersebut, tapi terdorong sifat sombongnya hal itu sekaligus dijadikan dasar untuk menguji kesaktiannya.
Apalagi, jika tidak untuk menguji kesaktian sesama Penewu Majasemi, Sukmoyopno yang mempunyai pusaka piandel  cukup kondang. Karena itu, sebelum jatuh hari ditetapkannya pernikahan antara Menak Josari dengan Rara Rayungwulan, Wedana Yuyu Rumpung pun berulah menyuruh seorang agul-agulnya, Sondong Majeruk untuk mencuri pusaka piandel Penewu Majasemi (sn-bersambung).

About Post Author

Redaksi Samin News

Seputar Informasi Masyarakat Independen
Previous post Bakti Sosial Ketoprak Laras Budaya Gelar Pertunjukan di Ngipik
Next post Mengawali Kampanye Pemilu Serentak 2019; KPU Menunggu Masuknya Laporan Awal Dana Kampanye
Social profiles