Mengungkap Peradaban Usang Pati Tempo Dulu (lanjutan)

PADAHAL latar belakang permasalahan mengapa sejak penumpasan pemberontakan Madiun, Adipati Wasis mulai mengabaikan untuk tidak sowan ngabiantara ke Mataram, bukanlah persoalan sebagai senopati perang yang tidak mendapat hak membawa putri boyongan. Apalagi, Kadipaten Patio bukanlah taklukan Mataram.

Jika Adipati Wasis sewaktu-waktu ke Mataram, hal itu semata-mata hanya antara dia dan Panembahan Senopati itu terikat rasa kekeluargaan. Sebab, keduanya selain antara adik dan kakak ipar, Pati itu selamanya tidak pernah tunduk pada kekuasaan siapa pun, meskipun itu terhadap Mataram sehingga latar belakangnya dengan kadipaten lain jelas berbeda.

Lagi pula, ada satu permasalahan antara keduanya yang paling krusial yang menyangkut harga diri dan kehormatan keluarga. Yakni, ketika putri boyongan dari Madiun, Retno Dumilah dibawa masuk ke Keraton Mataram, oleh Panembahan Senopati ternyata dipersunting dengan status sebagai garwa ;permaisuri.

Dengan demikian, kakak perempuan Wasis, Waskita Jawi yang kedudukan sebelumnya sebagai garwa permaisuri sengaja dikesampingkan dengan mendudukkannya sebagai garwa selir. Sehingga sejak itu dalam keseharian, Waskita Jawi harus meninggalkan keraton besar beralih ke keraton kidul, dan sejak itu pula Panembahan Senopati sengaja memancing situasi untuk membangun konflik dengan maksud menguasai Pati.

Atas upaya dan rekayasa tersebut, Wasis lebih memilih untuk berperang dengan kakak ipar terlepas dari kecenderungan sikap kakak perempuannya yang memilih untuk diam meskipun diperlakukan tidak adil. Dengan kata lain, Waskita Jawi tampaknya lebih cenderung mempertahankan perkawinannya meski dengan kedudukan terkahiur sebagai garwa selir.

Sikap tersebut bagi yang bisa memahami, tentu akan membenarkan pilihan Waskita Jawi yang jelas ingin disebut sebagai seorang perempuan yang mampu memberikan keturunan laki-laki kepada Raja Besar Tanah Jawa. Sebab, perkawinannya dengan Panembahan Senopati, lahir seorang putra , yaitu Pangeran Jolang atau juga dikenal dengan sebutan Hanyokrowati.

Kendati Mataram tidak secara jujur mau mengakui bahwa Pengeran Jolang itu putra mahkota hasil perkawinan Panembahan Senopati dengan Waskita Jawi, tapi paling tidak seorang Ki Ageng Penjawi mempunyai andil menurunkan trah ratu di Tanah Jawa. Atas dasar itulah Waskita Jawi, tetap menerima ing pandum sebagai perempuan Jawa.

Sikap inilah yang oleh adiknya Wasis dianggap tidak membela kehormatan keluarga Penjawi sebagai pewaris dan turun sah Kanjeng Sunan Kali Jaga. Apalagi, begitu mengetahui para prajurit Mataram juga dengan sengaja mulai mengobok-obok wilayah kawasan Pegunungan Kendeng utara yang notabene warisan sah dari Kanjeng Sunan Kali kepada Ki Ageng Ngerang III, ayah Ki Ageng Penjawi.

Karena itu, Wasis pun merasa sah sebagai pewaris tlatah kawasan pegunungan itu yang membentang dari wilayah Ungaran  sampai ke Tuban. Karena itu, ketika Pegunungan Kendeng dianggap sebagai wilayah tak bertuan, maka Adipati Pati Wasis tidak tinggal diam, sehingga sikap melawan pun ditunjukkan terhadap Penembahan Senopati, sedumuk bathuk senyari bumi yang harus dibela dengan pati (bersampung)

About Post Author

Redaksi Samin News

Seputar Informasi Masyarakat Independen
Previous post Benteng Terakhir Pendidikan Itu Kejujuran
Next post Verifikasi SKTM Mutlak Segera Dilakukan
Social profiles