Membumikan Peringatan Hari Jadi Pati; Sebuah Catatan dari Beberapa Tulisan (15)

Bagan rangkuman Kerajaan Pesantenan dan masa pemerintahan Kabupaten Pati dari masa ke masa hingga sekarang (atas), serta sebuah bangunan pendapa baru di Dukuh Jasem, Desa Sukoharjo, Kecamatan Wedarijaksa Pati (bawah).(Foto:SN/aed)


SAMIN-NEWS.COM  DALAM cerita tutur jika menyangkut asal-usul terbentuknya pusat pemerintahan/keuasaan di Pati, tentu tidak pernah lepas dari sebutan sebuah kadipaten pada masa itu. Yakni, Kadipaten Carangsoko tapi penulis maupun kebanyakan warga tidak tahu di mana letak lokasi persisnya, karena tidak perna melihat bukti-bukti sekecil apa pun yang bisa dijadikan acuan apakah itu sekadar pecahan perkakas alat-alat rumah tangga pada masa itu.
Atau paling tidak potongan atau bekas pondasi sebuah bangunan, meskipun yang disebut terakhir ada upaya dari beberapa kepala desa di Kecamatan Wedarijaksa yang mencoba menielisiknya untuk bisa dijadikan catatan. Sehingga di Dukuh Jasem, Desa Sukoharjo, Kecamatan Wedarijaksa kini berdiri sebuah bangunan joglo baru yang disebutkan sebagai Balai Dukuh.
Kendat dalam keseharian tidak banyak aktivitas warga di tempat tersebut, melainkan lebih banyak kosongnya, di balik itu sebenarnya sebagai penanda hahwa di dukuh tersebut ditengarai pernah menjadi pusat pemerintahan Kadipaten Carangsoko. Hal tersebut diyakni kebenarannya oleh siapa saja yang sering menyampaikan cerita tutur.
Hal itu didukung pembenaran atas bukti sebutan yang sampai saat ini menjadi nama sebuah desa di kecamatan setempat, yaitu Panggungroyom. Sehingga waktu itu kawasan wilayah desa tersebut menjadi bagian dari lingkungan Kadipaten Carangsoko, dan jika namanya berubah menjadi sesuah desa karena didasarkan atas sebuah peristiwa yang dikenal dengan sebutan ”petilasan.”
Disebutkan dalam cerita tutur disebutkan, konon saat Adipati Carangsoko Puspahandumjaya harus berbesanan dengan Adipati Paranggaruda, Yudhopati untuk pernikahan putrinya Rayungwulan dengan Jasari, pengantin puti minta ”bebana”/syarat. Sebab, putri Rayungwulan yang jelita merasa tidak cocok untuk bersanding dengan Josari.
Sebab, dalam cerita tutur itu Josari digambarkan sebagai sosok pemuda/laki-laki yang secara fisik mempunyai cacat pada bagian kaki bawaan sejak lahir. Demikian pula mentalnya jugakurang satu strip, sehingga Rayungwulan menolaknya secara halus dengan mengajukan syarat pada saat pesta pernikahan minta dimeriahkan dengan pertunjukan wayang kulit.
Akan tetapi bukan sekadar wayang kulit biasa, karena dalang dan sindennya harus  saudara kandung. Untuk memenuhi ”bebana” tersebut, tentu bukan hal mudah maka Adipati Paranggaruda melalaui orang kepercayaannya, yaitu Penewu (Wedana) Kemaguan, Yuyu Rumpung harus bersusah payah mencari dalang dan sinden itu.
Akhirnya ditemukan seorang dalang dengan sinden yang adik kandungnya, yakni Dalang Soponyono bersama adiknya Ambarsekar dan Ambarsari dari Bakaran. Singkat cerita, dalam pahargian tersebut begitu melihat gantengnya Dalang Soponyono, putri Rayungwulan justru berbalik sikap sehingga selama pertunjukan wayang berangsung, saling main mata dan isyarat-isyarat lain pun menjadi gayung bersambut.
Pada puncaknya sang dalang melalui sabetan gunungan wayang mematikan ”blencong” (lampu) di arena panggung wayang dan dengan kesaktiannya pula berhasil memadamkan seluruh lampu/damar yang ada di arena pahargian. Dalam kondisi kacau dan kegelapan, maka Rayungwulan yang taggap segera mengajak lari dalang dan kedua adiknya lewat jalan lingkungan kadipaten yang sudah hafal betul harus ke mana (bersambung)

About Post Author

Redaksi Samin News

Seputar Informasi Masyarakat Independen
Previous post Membumikan Peringatan Hari Jadi Pati;Sebuah Catatan dari Beberapa Tulisan (14)
Next post BPKAD : Perda Karcis Pasar 2011 Sudah Sesuai
Social profiles